Penelitian terhadap hadis Ahad, pada
akhirnya menghasilkan beberapa kesimpulan. Antara lain penilaian terhadap
keabsahan sebuah atau serangkaian hadis yang telah diteliti. Ada hadis yang
maqbûl (diterima) sebagai hujjah, yang disebut dengan dua istilah: shahîh dan
hasan. Dan ada pula hadis yang dinyatakan mardûd, kerena tidak memenuhi
kualifikasi shahîh maupun hasan, yang disebut dengan istilah dha’îf.
A. Hadis Shahih
Definisi Hadis Shahih
Kata Shahih (الصحيح) dalam
pengertian bahasa, diartikan sebagai orang sehat antonim dari kata as-saqîm (السقيم)
= orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadis shahih adalah hadis yang
sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
“Hadis yang muttasil
(bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang ‘adil dan dhabith (kuat daya
ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat
(‘illat)”.
Imam As-Suyuthi mendifinisikan hadis
shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan olehar-râwiy
(periwayat) yang ‘adil dan dhabith, tidak syadz dan tidak ber‘illat”.
Definisi hadis shahih secara konkrit
baru muncul setelah Imam asy-Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang
dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh
para ar-râwiy (periwayat) yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal
sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu
meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis
secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan sama dengan hadis yang
diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlîs (penyembuyian cacat),
Kedua, rangkaian riwayatnya
bersambung sampai kepada Nabi s.a.w., atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim
membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut:
Rangkaian ar-râwiy (periwayat) dalam
sanad itu harus bersambung mulai dari ar-râwiy (periwayat) pertama sampai
ar-râwiy (periwayat) terakhir.
Para ar-râwiy (periwayat)nya harus
terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti ‘adil dandhabithh,
Hadisnya terhindar dari ‘illat
(cacat) dan syadz (janggal), dan
Para ar-râwiy (periwayat) yang
terdekat dalam sanad harus sejaman.
Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadis shahih di
atas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1)
Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap ar-râwiy
(periwayat) dari ar-râwiy (periwayat) lainnya benar-benar mengambil secara
langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan bersambungnya
dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja sebagai
berikut:
1)
mencatat semua periwayat yang diteliti,
2)
mempelajari hidup masing-masing periwayat,
3)
meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang
terpakai berupa haddatsanî, haddatsanâ, akhbaranâ, akhbaranî, ‘an, anna, atau
kata-kata lainnya.
2)
Ar-râwiy (periwayat)-nya Bersifat ‘Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap ar-râwiy
(periwayat) itu seorang muslim, berstatus mukallaf (baligh), bukan
fâsiqdan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang
periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
1)
keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat
‘adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
2)
ketenaran seseorang bahwa ia bersifast ‘adil, seperti imam empat: Abu Hanifah,
Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
Khusus mengenai ar-râwiy (periwayat)
hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah
‘adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa
sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fâsiq, dan periwayatannya
pun ditolak.
3)
Ar-Râwiy (periwayat)-nya Bersifat Dhabith
Maksudnya masing-masing ar-râwiy
(periwayat)-nya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan (في الصدور)
maupun dalam tulisan (في السّطور).
Dhabith dalam dada ialah terpelihara
periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya
kepada orang lain, sedang, dhabith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran
suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhabithan
periwayat (الراوي), nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
1)
kesaksian para ulama
2)
berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah
dikenal kedhabithhannya.
4)
Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu
benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyelesihi orang yang
terpercaya dan lainnya.
Menurut asy-Syafi’i, suatu hadis
tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzûdz, bila hadis itu hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang tsiqah
lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan syudzudz,
bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yangtsiqah tersebut
bertentengan dengan hadis yang dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga
bersifattsiqah.
5)
Tidak Ber’illat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada
cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat
mencederai pada ke-shahih-an hadis, sementara zhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada
sanad mapun pada matn (matan/teks) atau pada keduanya secara bersama-sama.
Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad (السند),
seperti menyebutkanmuttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis shahih
kepada dua bagian, yaitu shahîh li-dzâtihi (صحيح لذاته) dan shahîh li-ghairihi (صحيح لغيره). perbedaan
antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan ar-râwiy(periwayat)nya.
pada shahîh li-dzâtihi, ingatan ar-râwiy (periwayat)nya sempurna, sedang pada hadis
shahîh li-ghairihi, ingatan ar-râwiy (periwayat)nya kurang sempurna.
1)
Hadis Shahîh Li Dzâthihi
Maksudnya ialah syarat-syarat lima
tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih
dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang
kepercayaan.
2)
Hadis Shahih Li Ghairihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak
terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau
sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi
orang yang banyak salah.
Hadis shahîh li-ghairihi, adalah
hadis hasan li-dzâtihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh
ar-râwiy(periwayat) yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
Kehujjahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi
persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’
sesuaiijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fiqih. Kesepakatan
ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya
sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan
dengan dalil-dalil qath’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu,
hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan aqidah.
Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis
shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabith-an dan ke’adilan
para ar-râwiy (periwayat)-nya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin
membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asânîd yaitu
rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari
Imam Malik bin Anas dari Nafi’ maulâ (مولى = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu
Umar.
Kedua, ashah al-asânîd (أصح الأسانيد),
yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya di bawah tingkat pertama di
atas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. adh’af al-asânîd (أضعف الأسانيد),
yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan
kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu
Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang
terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai
berikut:
Hadis yang disepakati oleh al-Bukhari
dan muslim (muttafaq ‘alaih متفق عليه),
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari saja,
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim saja,
Hadis yang diriwayatkan orang lain
memenuhi persyaratan al-Bukhari dan Muslim,
Hadis yang diriwayatkan orang lain
memenuhi persyaratan al-Bukhari saja,
Hadis yang diriwayatkan orang lain
memenuhi persyaratan Muslim saja,
Hadis yang dinilai shahih menurut
ulama hadis selain al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyaratan
keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun
hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
Shahih al-Bukhari (w.250 H).
Shahih Muslim (w. 261 H).
Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
Mustadrak al-hakim (w. 405).
Shahih Ibn as-Sakan.
Shahih al-Albani.
B. Hadis Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti
al-jamâl, yaitu: “indah”. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang
disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan
antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama
mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
Al–Khaththabi: “hadis yang diketahui
tempat keluarnya, dan telah masyhur ar-ruwât/ الرواة(para periwayat) dalam sanadnya, dan
kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama,
dan yang dipakai oleh umumnya fuqahâ’”.
At-Tirmidzi: “semua hadis yang
diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta
tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti
demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan”.
Ibnu Hajar: “hadis ahad yang
diriwayatkan oleh yang ‘adil, sempurna ke-dhabith-annya, bersanbung sanadnya,
tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahîh li-dzâtihi,
lalu jika ringan ke-dhabith-annya maka dia adalah hadis hasan li-dzâtihi”.
Kriteria hadis hasan sama dengan
kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-annya.
yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabith-annya dibandingkan dengan hadis
hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabith-an ar-râwiy (periwayat) hadis
dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabith-anar-râwiy (periwayat) hadis hasan
lebih unggul.
2. Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang
terbagi menjadi dua macam, hadis hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu
hasan li-dzâtihi dan hasan li-ghairihi;
a.
Hasan Li Dzâtihi
Hadis hasan li-dzâtihi adalah hadis
yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan.
b. Hasan
Li-Ghairihi
Hadis hasan li-ghairihi ialah hadis
hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. Dengan kata lain, hadis
tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad
atau matn(matan/teks) lain yang menguatkannya[1] (syahid atau tâbi’/mutâbi’),
maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan
li-ghairih.
3. Kehujahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya
hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat
diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu
hukum atau dalam beramal. Para ulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha’
sepakat tentang ke-hujjah-an hadis hasan.
C. Hadis Dha’if
1. Definisi Hadis Dha’if
Pengertian hadis dha’if secara
bahasa. Hadis dha’if berarti hadis yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil
bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah s.a.w.. Dugaan kuat mereka hadis
tersebut tidak berasal dari Rasulullah s.a.w.. Adapun para ulama memberikan
batasan bagi hadis dha’if sebagai berikut: “Hadis dha’if ialah hadis yang tidak
memuat/menghimpun sifat-sifat hadis shahih, dan tidak pula menghimpun
sifat-sifat hadis hasan”.
2. Macam-macam Hadis Dha’if
Hadis dha’if dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu : hadis dha’if karena gugurnya ar-râwiy dalam
sanadnya, dan hadis dha’if karena adanya cacat pada ar-râwiy atau matn
(matan/teks).
a. Hadis Dha’if Karena Gugurnya
ar-Râwiy (Periwayat)
Yang dimaksud dengan gugurnya
ar-râwiy adalah tidak adanya satu atau beberapa ar-râwiy, yang seharusnya ada
dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau
akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis dha’if yang disebabkan karena gugurnya
ar-râwiy, antara lain yaitu :
1)
Hadis Mursal
Hadis mursal menurut bahasa, berarti
hadis yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis mursal adalah
hadis yang gugur ar-râwiy nya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan ar-râwiy di
akhir sanad ialah ar-râwiy pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama
yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah s.a.w.. (penentuan awal dan akhir sanad
adalah dengan melihat dari ar-râwiy yang terdekat dengan imam yang membukukan
hadis, seperti al-Bukhari, sampai kepada ar-râwiy yang terdekat dengan
Rasulullah s.a.w.). Jadi, hadis mursal adalah hadis yang dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat Nabi, sebagai ar-râwiy yang seharusnya menerima langsung
dari Rasulullah s.a.w..
Contoh hadis mursal :
عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ الأََسْلَمِيِّ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ :« بَيْنَنَا وَبَيْنَ
الْمُنَافِقِينَ شُهُودُ الْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ, لاَ يَسْتَطِيعُونَهُمَا ».
“Antara kita dan kaum munafik
(ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup
menghadirinya”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh
Imam Malik, dari Abdurrahman bin Harmalah al-Aslami, dan selanjutnya dari
Sa’id bin Musayyab (salah seorang dari generasi tabi’in)). Siapa sahabat Nabi
s.a.w. yang meriwayatkan hadis itu kepada Sa’id bin Musayyab, tidak disebutkan
dalam sanad hadis di atas.
Kebanyakan ulama memandang hadis
mursal ini sebagai hadis dha’if, karena itu tidak bisa diterima sebagaihujjah
atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah,
Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadis mursal menjadi
hujjah asalkan para ar-râwiy bersifat ‘âdil.
2)
Hadis Munqathi’
Hadis munqathi’ menurut etimologi
ialah hadis yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadis munqathi’
adalah hadis yang gugur satu atau dua orang ar-râwiy tanpa beriringan menjelang
akhir sanadnya. Bila ar-râwiy di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka ar-râwiy
menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadis munqathi’ bukanlah
ar-râwiy di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.
Bila dua ar-râwiy yang gugur, maka kedua ar-râwiy tersebut tidak beriringan,
dan salah satu dari dua ar-râwiyyang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadis munqathi’ :
“Rasulullah s.a.w. bila masuk ke
dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya
Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim dan Abu
Mu’awiyah, dari Laits, dari Abdullah bin al-Hasan, dari Ibunya (Fatimah binti
al-Husain), dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadis
di atas adalah hadis munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak
berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada ar-râwiy yang gugur (tidak
disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3)
Hadis Mu’dhal
Menurut bahasa, hadis mu’dhal adalah
hadis yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadis
mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang ar-râwiy (periwayat)-nya, atau lebih,
secara beriringan dalam sanadnya.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286), dan juga Ibnu Abi Dun-ya
di dalam kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari jalan Qatadah, ia berkata;
ذكر لنا أن نبي
الله صلى الله عليه وسلم قال : « الكَعْبَتَانِ مِنْ مَيْسِرِ الْعَجَمِ »
Disebutkan kepada kami bahwa
Rasulullah s.a.w. bersabda: “kedua mata kaki adalah kemudahan Bangsa ‘Ajam
(non-Arab)”. Qatadah yang dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi.
Riwayatnya dari tabi’in besar sangat agung, pendapat yang lebih kuat,
dalam sanad ini beliau telah menghilangkan setidaknya dua orang ar-râwiy
(periwayat), yaitu seorang tabi’in dan seorang shahabat. Maka hadis yang
demikian ini dinamakan mu’dhal. Dan hadis mu’dhal (معضل) derajatnya di
bawah mursal (مرسل) dan munqathi’(منقطع), karena banyaknya ar-râwi
(periwayat) yang hilang dari sanad secara berurutan.
4) Hadis Mu’allaq
Menurut bahasa, hadis mu’allaq
berarti hadis yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadis ini ialah hadis
yang gugur satu ar-râwiy (periwayat) atau lebih di awal sanad atau bisa juga
bila semua ar-râwiy(periwayat)-nya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh :
Contoh; Diriwayatkan oleh al-Bukhari
di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab al-Iman, Bab: Husnu Islami
al-Mar’i(1/17), ia mengatakan,
“Telah berkata Malik, telah
memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu
kepadanya, bahwa Abu Sa’id al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda; Apabila seseorang masuk Islam,
dengan keislaman yang bagus maka Allah akan menghapuskan semua kejahatannya
yang telah lalu. Setelah itu balasan terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh
kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu, dan balasan kejahatan sebayak
kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.”
Al-Bukhari tidak menyebutkan nama
gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik melalui perantara
seorang ar-râwiy (periwayat).
Contoh lain; dikeluarkan oleh
al-Bukhari di dalam kitabnya al-Jâmi’ ash-Shahîh, Kitab ath-Thahârah, Bab
Mâ Jâ’a fî Ghusli al-Baul, (1/51).
وَقَالَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم لِصَاحِبِ الْقَبْرِ كَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Rasulullah s.a.w. bersabda kepada
penghuni kubur, dahulu dia tidak membersihkan kencingnya”.
Al-Bukhari menghilangkan semua
sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi s.a.w. bersabda”.
b. Hadis Dha’if Karena Cacat
pada Matn (Matan/Teks) atau ar-Râwiy (Periwayat)
Banyak macam cacat yang dapat
menimpa ar-râwiy (periwayat) ataupun matan. Seperti pendusta, fâsiq, tidak
dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat ‘adil
pada ar-râwiy (periwayat). Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk,
atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahiar-ruwât (para
periwayat) yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada ar-râwiy
(periwayat). Adapun cacat pada matan, misalnya terdapat sisipan di
tengah-tengah lafazh hadis atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian
yang berbeda dari maksud lafazh yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadis dha’if karena
cacat pada matn (matan/teks) atau ar-râwiy (periwayat):
1) Hadis Maudhu’
Menurut bahasa, hadis ini memiliki
pengertian hadis palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa
hadis maudhu’ ialah hadis yang bukan berasal dari Rasulullah s.a.w.. Akan
tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadis palsu yakni
musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam,
yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat
fanatic terhadap golongan politiknya, madzhabnya, atau kebangsaannya .
Hadis maudhû’ merupakan
seburuk-buruk hadis dha’if. Peringatan Rasulullah s.a.w. terhadap orang yang
berdusta dengan hadis dha’if serta menjadikan Rasululullah s.a.w. sebagai
sandarannya.
مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang sengaja berdusta
terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh
hadis maudhu’:
a)
Hadis yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakan bahwa hadis
itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah
s.a.w.. berbunyi: “Sesungguhnya bahtera Nuh berthawaf mengelilingi ka’bah,
tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat”. (Muhammad Nashiruddin
al-Albani, Irwâ’ al-Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîts Manâr as-Sabîl, Juz V, Beirut:
Al-Maktab al-Islami, 1985, h. 222)[2]Makna hadis tersebut tidak masuk akal”.
b)
Adapun hadis lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”.
(Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah wa
al-Maudhû’ah wa Atsaruhâ as-Sayyi’ fi al-Ummah, Juz I, Riyadh: Dar al-Ma’arif,
1992, h. 447)[3] Hadis tersebut bertentangan dengan al-Quran. ” Pemikul dosa
itu tidaklah memikul dosa yang lain”. (QS al-An’âm/6: 164 )
c)
“Siapa yang memeroleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu
masuk surga”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts
al-Maudhû’ah, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 97)[4] “Orang yang
dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku (Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”.
(As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz
I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 282)[5]
Demikianlah sedikit uraian mengenai
hadis maudhu’. Masih banyak hadis-hadis lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak
kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan,
seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat
beberapa hadis tentang keutamaan al-Quran dan 70 buah hadis tentang keutamaan Ali
bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang ’zindiq’, sebelum dihukum pancung ia telah
memalsukan hadis dan mengatakan : “aku telah membuat 3000 hadis; aku halalkan
barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.
2) Hadis matrûk atau hadis
mathrûh
Hadis ini, menurut bahasa berarti
hadis yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis
matrûk adalah hadis yang diriwayatkan oleh ”orang-orang yang pernah dituduh
berdusta (baik berkenaan dengan hadis ataupun mengenai urusan lain), atau pernah
melakukan maksiat, lalai, atau banyakwahamnya”.
Contoh hadis matrûk:
“Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak
kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena
sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah SWT”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh
Ibnu Abi ad-Dunya dari Ibnu Abbas. Di dalam sanad ini terdapat rawi yang
bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. An-Nasa’i, ad-Daruquthni, dan lain-lain
mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matrûk). Ibnu Ma’in berkata, “لاَ بَأْسَ بِهِ
(Ia tidak ada apa-apanya)”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya),
ini berarti ia “الْمُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ (tertuduh berdusta)”.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar, secara bahasa berarti
hadis yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama
bahwa hadis munkar ialah: hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat)
yang lemah dan menyalahi ar-râwiy (periwayat) yang kuat, contoh:
“Barangsiapa yang mendirikan shalat,
membayarkan zakat, mengerjakan haji dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.”
(HR Abu Ishaq dari Abdullah bin Abbas)”
Hadis di atas memiliki ar-ruwât
(para periwayat) yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadis
yang lebih kuat.
4) Hadis Mu’allal
Menurut bahasa, hadis mu’allal
berarti hadis yang terkena ‘illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadis ini
adalah hadis yang mengandung sebab-sebab tersembunyi, dan ‘illat yang
menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh:
الْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“(Rasulullah s.a.w. bersabda):
“penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh
Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar,
dan selanjutnya dari Ibnu Umar. Matan hadis ini sebenarnya shahih, namun
setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki ‘illat. Yang seharusnya dari
Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5) Hadis Mudraj
Hadis ini memiliki pengertian hadis
yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadis itu.
Contoh:
أَنَا زَعِيمٌ
وَالزَّعِيمُ الْحَمِيلُ لِمَنْ آمَنَ بِي وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي
رَبَضِ الْجَنَّةِ …
“Saya adalah za’im (dan za’im itu
adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah, dengan
tempat tinggal di taman surga …” (HR Al-Bazzar dari Fadhalah bin ‘Ubaid)
Kalimat akhir dari hadis tersebut (بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ) adalah sisipan, karena tidak termasuk sabda Rasulullah s.a.w..
6) Hadis Maqlûb
Menurut bahasa, berarti hadis yang
diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya
atau pada nama ar-râwiy (periwayat) dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad
untuk matan yang lain.
Contoh:
فَمَا
أَمَرْتُكُمْ بِهِ مِنْ شَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَمَا
نَهَيْتُكُمْ فَانْتَهُوْا
“(Rasulullah s.a.w. bersabda): Apabila
aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku
melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu”. (Hadis
Riwayat ath-Thabrani dari al-Mughirah)
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, semestinya hadis tersebut
berbunyi, Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ
مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang aku larang kamu darinya,
maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah
ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadis Syadz
Secara bahasa, hadis ini berarti
hadis yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadis syadz adalah hadis
yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang dipercaya, tapi hadis itu
berlainan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah ar-râwiy
(periwayat) yang juga dipercaya. Hadisnya mengandung keganjilan dibandingkan
dengan hadis-hadis lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan,
ataupun keduanya.
Contoh :
أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْفَاكِهِيُّ بِمَكَّةَ ثَنَا أَبُو
يَحْيَى بْنُ أَبِي مَيْسَرَةَ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِيُّ
ثَنَا مُوسَى بْنُ عُلَىِّ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ : يَوْمُ عَرَفَةَ وَ يَوْمُ النَّحْرِ وَ أَيَّامُ التَشْرِيْقِ
عِيْدُنَا أَهْلُ الْإِسْلَامِ وَ هُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ
(Rasulullah bersabda): “Hari ‘Arafah,
hari Nahr dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya bagi umat Islam, dan hari-hari
itu adalah hari-hari makan dan minum.” (HR al-Hakim dari Musa bin Ali bin
Rabah)
Hadis di atas diriwayatkan oleh Musa
bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan ar-ruwât(para
periwayat) yang dipercaya, namun matn (matan/teks) hadis tersebut ternyata
ganjil, jika dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang diriwayatkan oleh
ar-ruwât (para periwayat) yang juga dipercaya. Pada hadis-hadis lain tidak
dijumpai ungkapan tersebut. Keganjilan hadis di atas terletak pada adanya
ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadis syadz pada matn
(matan/teks)-nya. Lawan dari hadis ini adalah hadismahfûzh.
3. Kehujahan Hadis Dha’if
Khusus hadis dha’if, maka para ulama
hadis kelas berat semacam Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa
hadis dha’if boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
a. Level Ke-‘dha’if’-annya
Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadis dha’if
itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai
yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada
di antara hadis dha’if yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara
aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadis yang level ke-dha’if-annya tidak
terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara-perkara (perilaku-perilaku) yang
memiliki nilai keutamaan (فَضَائِلُ الْأَعْمَالِ).
b. Berada di bawah Nash (Teks)Lain
yang Shahih
Maksudnya hadis yang dha’if itu
kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhâil al-a’mâl (فَضَائِلُ الْأَعْمَالِ),
harus didampingi dengan hadis lainnya. Bahkan hadis lainnya itu harus shahih.
Maka tidak boleh hadis dha’if dijadikan sebagai pegangan pokok, tetapi dia
(hadis dha’if tersebut) harus berada di bawah nash (teks) hadis yang shahih,
atau (minimal) hasan.
c.
Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsâbit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan
hadis dha’if itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda
Rasululah s.a.w.perbuatan atau taqrîr (ketetapan) beliau. Tetapi yang kita
lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini
dari Rasulullah s.a.w..
4
Sikap Ulama Terhadap Hadis Dha’if
Sebenarnya kalau kita mau jujur dan
objektif, sikap ulama terhadap hadis dha’if itu sangat beragam. Setidaknya kami
mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka
masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya
adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadis serta para spesialis.
Maka posisi kita bukan untuk
menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan
mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstelasi para ulama hadis.
a. Kalangan Yang Menolak
Mentah-mentah Hadis Dha’if
Namun harus kita akui bahwa di
sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau terima
kalau hadis dha’if itu masih bisa ditoleransi.
Bagi mereka hadis dha’if itu sama
sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan
(fadhîlah), kisah-kisah, nasihat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah
hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadis dha’if di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama
Al-Imam al-Bukhari, al-Imam Muslim, Abu Bakar al-‘Arabi, Yahya bin Ma’in, Ibnu
Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti al-Albani dan para
pengikutnya.
b. Kalangan Yang Menerima
Semua Hadis Dha’if
Jangan salah, ternyata ada juga
kalangan ulama yang tetap menerima semua hadis dha’if. Mereka adalah kalangan
yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadis dha’if, asal bukan
hadis palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadis, tetap saja
lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering
disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal,
pendiri madzhab Hanbali. Madzhab ini banyak dianut saat ini antara lain di
Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibn
al-Mubarak dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa
mereka berkata, bahwa bila kami meriwayatkan hadis masalah halal dan haram,
kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhîlah dan sejenisnya, kami
longgarkan.”
c. Kalangan Moderat
Mereka adalah kalangan yang masih
mau menerima sebagian dari hadis yang terbilang dha’if dengan syarat-syarat
tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam madzhab yang empat serta
para ulama salaf(mutaqaddimîn) dan khalaf (mutaakkkhirîn).
Syarat-syarat yang mereka ajukan
untuk menerima hadis dha’if antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar dan juga Al-Imam an-Nawawi, adalah:
1)
hadis dha’if itu tidak terlalu parah ke-dha’if-annya. Sedangkan hadis dha’if
yang ar-râwiy (periwayat)-nya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai
pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
2)
hadis itu punya asal yang menaungi di bawahnya
3)
hadis itu hanya seputar masalah nasihat, kisah-kisah, atau anjuran amal
tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
4)
ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadis itu,
melainkan hanya sekadar berhati-hati.
D. Kesimpulan
Pada materi hadis dha’if ini, dapat
kita petik kesimpulan bahwa kajian ke-islaman itu sangatlah luas. Menunjukkan
betapa maha kuasanya Allah dalam memberikan kepahaman terhadap hamba-hambanya.
وَاللّهُ
غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap
urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yûsuf/12: 21)
Meskipun ada sebagian kaum muslimin
mengingkari al-Quran dan Hadis (terlebih hadis dha’if), kita harus tetap
berupaya untuk meluruskan bersama. Karena Allah SWT. berfirman :
وَمَا يَتَّبِعُ
أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إَنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
إِنَّ اللَّهَ عَلَيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“(Dan) kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS Yûnus/10: 36).
وَ الْعَصْرِ
(۱) إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحاتِ وَتَواصَوْا بِالْحَقِّ وَتَواصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran
dan nesehat-menasihati supaya menetapi kebenaran”. (QS al-‘Ashr/103: 1-3)
Terbaginya hadis dha’if dalam dua
bagian; karena gugurnya ar-râwiy (periwayat) dan atau karena cacat ar-ruwat (para
periwayat) atau matn (matan/teks) semakin memudahkan kita untuk mengetahui
sebab-sebab mengapa hadis-hadis menjadi dha’if, baik dari segi ar-râwiy
(periwayat)-nya (orang yang meriwayatkan), sanad, maupun matn (matan/teks)-nya.
Setiap Muslim diperintahkan untuk
memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah islamiyyah). Kepribadian Islam itu
mencakup cara berpikir islami (’aqliyyah islâmiyyah) dan pola sikap islami
(nafsiyyah islamiyyah). Dengan‘aqliyyah islâmiyyah seseorang dapat mengeluarkan
keputusan hukum tentang benda, perbuatan, dan peristiwa sesuai dengan
hukum-hukum syariah. Dia dapat mengetahui mana yang halal dan mana yang haram
serta mana yang terpuji dan mana yang tercela berdasarkan syariah Islam.
Melalui ‘aqliyyah islâmiyyahseorang Muslim juga akan memiliki kesadaran dan
pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan tepat, serta
mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar. Namun, ‘aqliyyah islâmiyyah
saja tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak cukup. Tidak jarang, orang pintar bicara,
pandai berdebat tentang dalil, tetapi apa yang diomongkan berbeda dengan apa
yang dilakukan.
Karena itu, kepribadian Islam tidak
cukup dengan ‘aqliyyah islâmiyyah melainkan harus dipadukan dengannafsiyyah .
Dengan mengetahui Ilmu Hadis (di
sini lebih dikhususkan hadis dha’if), tentu akan membuat ‘aqliyyah kita menjadi
semakin terpacu untuk berpikir dan menggali pengetahuan secara lebih mendalam
serta dilandasinafsiyyah (sikap) keimanan dan ketakwaan yang mantap,
termotivasi untuk terus mencari dan mengamalkannya karena pembahasan dalam
makalah ini hanyalah berisi sebagian kecilnya saja.
DAFTAR PUSTAKA
Fadlil Said, Qawâid al-Asasiyyah Fî
‘Ilm Mushthalâh al-Hadîts, Alih Bahasa, Surabaya: Al-Hidayah, 2007.
http://www. eramuslim.com
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadis-dhaif.html
http://fastion.multiply.com/journal/item/4/Ulumul_hadis
http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadis-shahih-hasan-dhaif/
Khon, Abdul Majid., Ulumul Hadis,
Jakarta: Ahzam, 2008.
Mahmud Thahhan, ‘Ulumul Hadis Studi
Kompleksitas Hadis Nabi, Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1997.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu
Hadis, Semarang: Rasail, 2007.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad
Hasbi., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
[1]Pengertian Mutâba’ah. Ada yang
menyamakan Mutâbi’ dengan Syâhid, tetapi ada juga yang membedakan. Adapun yang
membedakannya mendefinisikan pengertian mutabâ’ah atau mutâbi’ adalah suatu
riwayat yang mengikuti periwayatan orang lain dari guru yang terdekat atau
gurunya guru. Atau dengan pengertian hadismutâbi’ adalah hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat lebih dari satu orang dan terletak bukan pada
tingkat sahabat Nabi s.a.w.. Riwayat mutâbi’ biasanya berada pada tingkat
tabi’in, oleh karenanya disebut denganmutâbi’ kalau penguat tersebut ada pada
tabi’in.
Mutâbi’ di sini biasanya menjadi penguat bagi riwayat hadis lain yang kurang kuat.
Mutâbi’ di sini biasanya menjadi penguat bagi riwayat hadis lain yang kurang kuat.
Pembagian Mutâba’ah, Riwayat mutâbi’
terbagi menjadi dua macam, yaitu: (1) Mutâbi’ Tâm, yaitu apabila periwayat yang
lebih dari satu orang itu menerima hadis tersebut dari guru yang sama. Atau
apabila periwayatan mutâbi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutâba’ah) dari
yang terdekat sampai guru yang terjauh. (2) Mutâbi’ Qashr, yaitu apabila para
periwayat tersebut menerima hadis itu dari guru yang berbeda-beda atau apabila
periwayatan mutâbi’ itu mengikuti periwayatan guru yang terdekat saja,
tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sama sekali.
Pengertian Syawâhid. Riwayat
syawâhid adalah riwayat lain yang diriwayakan dengan cara meriwayatkannya
dengan sesuai maknanya. Ada yang mendefinisikan, syâhid adalah hadis yang
periwayat di tingkat sahabat Nabi s.a.w. terdiri dari lebih seorang. Syawâhid
ini pada intinya juga sebagai riwayat penguat atas riwayat yang lain, tetapi
biasanya penguat tersebut ada pada tingkat sahabat.
Syawâhid ini terbagi menjadi dua,
yaitu: (1) Syâhid bi al-Lafzh, yaitu apabila matan hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat yang lain sesuai dengan redaksi dan maknanya dengan hadis yang
dikuatkan. (2) Syâhid bi al-Ma’nâ, yaitu apabila matn (matan/teks) hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang lain, namun hanya sesuai dengan maknanya secara
umum.
[2] إن
سفينة نوح طافت بالبيت , وصلت خلف المقام ركعتين
[3] ” لا
يدخل ولد الزنا الجنة، ولا شيء من نسله، إلى سبعة آباء ”
[4] من
ولد له مولود فسماه محمدا تبركا به كان هو ومولوده في الجنة
[5] الأمناء
عند الله ثلاث قيل من هم يا رسول الله قال جبريل وأنا ومعاوية